H. ISMAIL MUNDU
Mengenai Guru haji Ismail Mundu yang termaktub dalam buku yang
ditulis oleh Baidillah Riyadi itu menggambarkan Haji Ismail mundu
sebagai ulama yang tersohor dari keturunan raja Sawito di Sulawesi
Selatan. Beliau lahir pada tahun 1287 H yang bertepatan pada tahun 1870
M. Ayahnya bernama Daeng Abdul Karim alias Daeng Talengka bin Daeng
Palewo Arunge Lamongkona bin Arunge Kaceneng Appalewo bin Arunge Betteng
Wajo’ Sulawesi Selatan dari keturunan Maduk Kalleng. Sementara Ibunya
bernama Zahra (Wak Soro) berasal dari daerah Kakap, Kalimantan barat. Di
masa kecilnya, H. Ismail mundu sudah mulai mendalami dan mengamalkan
ajaran Islam secara bersungguh-sungguh. Dan di masa itu beliau belajar
dengan beberapa guru, antara lain dengan H. Muhammad bin H. Ali, dengan
waktu tujuh bulan, H. Islmail mundu berhasil belajar Alquran dan
menghatamkannya. Guru selanjutnya adalah H. Abdul Ibnu Salam yang
berdomisili di Kakap, kemudian beliau berguru dengan seorang mufti di
Makkah, yaitu Sayyed Abdullah Azzawawi. Setelah puas belajar di Makkah,
beliau kembali ke tanah Bugis dan belajar agama dengan Tuan Umar
Sumbawa. Setelah usianya genap dua puluh tahun, Haji Ismail Mundu
kemudian menunaikan ibadah haji untuk pertama kalinya. Di sana beliau
mengakhiri masa lajangnya yang kemudian menikahi seorang gadis berdarah
Arab yang bernama Ruzlan Alhabsyi. Mungkin Allah berkehendak lain,
pernikahan dengan gadis Arab itu tak berlangsung lama. Istrinya pulang
ke rahmatullah. Namun, rasa sedih itu diobati dengan menikah kembali
dengan seorang gadis yang berasal dari Pulau Sarasan yang bernama Hj.
Aisyah. Benih-benih cinta benar-benar hanya diujung pelupuk mata, sebab
biduk rumah tangga beliau bersama Hj. Aisyah tak berlangsung lama,
karena berpulang ke rahmatullah. Namun, kembali beliau membangun rumah
tangga dengan menikahi seorang wanita yang berasal dari Desa Sungai
Kakap Pontianak yang merupakan masih dalam ikatan keluarga (sepupu) yang
bernama Haffa binti H. Semaila. Dari pernikahan itu beliau mendapat
tiga orang anak. Kembali, jiwa beliau di uji. Istri beliau meninggal
saat melahirkan anak ketiganya. Sementara itu, anak-anak beliau juga
meninggal di usia muda. Setelah itu, beliau kembali menikah untuk
keempat kalinya dengan seorang wanita yang berkebangsaan Arab yang
bernama Hj. Asmah. Selanjutnya beliau menunaikan ibadah haji bersama
istrinya. sembari beribadah, beliau kembali menemui gurunya untuk
belajar ilmu agama yaitu Sayyed Abdullah Azzawawi. Pada tahun 1904 M,
beliau kembali ke Indonesia, tepatnya di Desa Teluk Pakedai. Di desa
itu beliau menggaungkan nilai-nilai Islam dengan cara merubah
kebiasaan-kebiasaan buruk, seperti adu ilmu dan perilaku kebatilan
lainnya. Berkat kegigihan dan kerja keras beliau, desa itu kian membaik
dan nilai-nilai Islam tumbuh dengan baik. Dengan itu, beliau mendapatkan
simpati dari raja Kubu, sehingga beliau kemudian diangkat menjadi mufti
di keraajaan Kubu pada tahun 1907 M. Di desa tersebut beliau kemudian
membangun masjid Nasrullah yang kini dikenal dengan nama masjid Batu.
Selain tempat ibadah, Masjid itu kini menjadi tempat wisata sejarah bagi
wisatawan yang diresmikan oleh pemerintah kabupaten Kubu Raya,
sekaligus mengenang jasa Guru Haji Ismail Mundu. Begitu besar peran
beliau di desa tersebut sehingga kini meskipun jasad beliau telah tiada,
tapi namany dikenal abadi, di desa Teluk Pakedai, Pontianak, bahkan
dari luar Kalimantan Barat.
Masjid yang didirakan oleh H.Ismail Mundu (Masjid Nasrullah)
makam H. Ismail Mundu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar